1999-2002 TARUNA AKIP, 2002-2007, PEMBINA AKIP, 2007-2010, STAF HUMAS DITJENPAS, 2010-2011 KASUBSI KEAMANAN LAPAS SALEMBA, 2011-2013 KA.KPLP LAPAS BOALEMO, 2013-2014 KASI BINAPIGIATJA LAPAS BOALEMO, 2014-2015 KASI BINADIK LAPAS GORONTALO, 2015-SKR KALAPAS POHUWATO

Senin, 09 Maret 2009

Permasalahan dan Rencana Aksi Cetak Biru Pembaharuan Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan

MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA

A. PENGADAAN PEGAWAI
1. Perencanaan Kebutuhan Pegawai
Permasalahan :
Data formasi pegawai pemasyarakatan yang telah diusulkan kepada sekretaris Jenderal pada umumnya selalu berubah dan tidak sesuai dengan kebutuhan organisasi pemasyarakatan. Kondisi ini berimbas pada pemenuhan jumlah dan mutu sumber daya manusia dalam organisasi pemasyarakatan secara keseluruhan.
Rencana Aksi :
Membentuk tim untuk menyusun standar analisis jabatan dan analisis kebutuhan di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Standar analisis yang disusun disampaikan kepada Sekjen Departemen agar digunakan sebagai dasar penyusunan formasi

2. Kebutuhan Persyaratan Khusus Dalam Rekruitmen Pegawai Pemasyarakatan
Permasalahan :
Sekretariat Jenderal Departemen Hukum dan HAM kurang memperhatikan karakteristik khusus yang harus dipenuhi dalam merekrut pegawai untuk memenuhi kebutuhan bagi pegawai pemasyarakatan. Karakteristik khusus tersebut berkenaan dengan fungsi yang diemban oleh petugas pemasyarakatan di setiap unit-unit pelaksana teknis.
Rencana Aksi :
a. Membentuk tim untuk merumuskan persyaratan khusus bagi petugas pemasyarakatan yang akan digunakan dalam proses pengadaan pegawai
b. Hasil rumusan tim disampaikan dan dikonsultasikan kepada Sekretariat Jenderal agar dapat digunakan pada setiap pengadaan pegawai bagi petugas pemasyarakatan.

B. PEMBINAAN KARIER
1. Pola Karier Petugas Pemasyarakatan
Permasalahan :
Sistem pembinaan karier yang dikelola oleh Sekretariat Jenderal Departemen dianggap kurang transparan, kurang obyektif, dan kurang akuntabel sehingga pada akhirnya melahirkan keadaan bahwa petugas pemasyarakatan tidak percaya lagi dengan sistem pembinaan karier yang ada.
Rencana Aksi :
a. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan mengoptimalkan peran pengawasan structural dan fungsional dengan aktif memberikan temuan-temuan penyimpangan dalam proses pengendalian kepangkatan
b. Membentuk pokja untuk menyusun instrument Penilaian Kinerja petugas Pemasyarakatan. Instrumen Penilaian Kinerja petugas pemasyarakatan diberlakukan dengan Surat Keputusan Menteri

2. Jabatan Fungsional Penegak Hukum Bagi Petugas Pemasyarakatan
Permasalahan:
Pasal 8 ayat (1) UU no 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dikatakan bahwa Petugas Pemasyarakatan merupakan pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan tugas pembinaan, pengamanan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan.
Pemberian label pejabat fungsional penegak hukum kepada petugas pemasyarakatan adalah suatu langkah positif yang berorientasi kepada efektifitas pelaksanaan petugas pemasyarakatan dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Permasalahannya, jabatan fungsional penegak hukum tersebut hanya sebatas pengaturan tetapi tidak diimplementasikan secara serius oleh Departemen Hukum dan HAM.
Rencana Aksi :
a. Membentuk pokja untuk melakukan studi tentang jabatan fungsional petugas pemasyarakatan
b. Fokus studi meliputi ketentuan mengenai analisis jabatan dan deskripsi jabatan, angka kredit, standar jenjang jabatan dan besaran tunjangan.
c. Hasil studi disampaikan kepada Menteri dan menjadi bagian dari agenda reformasi birokrasi di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.

C. PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
Penyelenggaraan Diklat Bagi Petugas Pemasyarakatan
Permasalahan :
Salah satu faktor penyebab tidak efisiennya penyelenggaraan diklat disebabkan struktur organisasi BPSDM dilakukan dengan pendekatan sistem fungsi yang terbagi atas pusat pengembangan kepemimpinan dan manajemen, pusat pengembangan teknis dan pusat pengembangan fungsional dan HAM, keseluruhan pusat ini mengadakan pelatihan untuk seluruh unit utama di Departemen Hukum dan HAM termasuk Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.
Belum ada konsep pembaruan sistem Diklat di departemen Hukum dan HAM bagi Petugas Pemasyarakatan
Rencana Aksi :
Pembentukan Tim kerja yang berafiliasi antara Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Sekjen Departemen Hukum dan HAM dan BPSDM untuk melakukan kajian pembaruan sistem diklat bagi petugas pemasyarakatan.

Permasalahan:
Kurangnya peningkatan kapasitas yang diselenggarakan secara mandiri oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan sebagai terobosan untuk menutupi lemahnya penyelenggaraan diklat .
Rencana Aksi:
Pembentukan Tim yang akan melakukan penyusunan program penguatan kapasitas berdasarkan usulan dari tiap-tiap UPT berdasarkan kualifikasi tupoksi masing-masing yang dijadikan prioritas.

Permasalahan:
Peserta Diklat pada umumnya diikuti oleh petugas pemasyarakatan yang berada di Kanwil. Bukan dari UPT sehingga menimbulkan ketimpangan kemampuan dan kapasitas SDM di UPT.
Rencana Aksi:
Pembentukan Tim Kerja yang melakukan assessment petugas pemasyarakatan di UPT yang belum dan yang telah mengikuti diklat dengan mengutamakan petugas yang belum mengikuti diklat berdasarkan kualifikasi dan seleksi program diklat yang berjalan.

D. AKADEMI ILMU PEMASYARAKATAN (AKIP)
1. Manajemen Organisasi dan Tata Kerja AKIP
Permasalahan :
Dalam lampiran Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.09. PR. 07.10 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Hukum dan HAM RI terlihat AKIP diletakkan dalam bagan tata struktur sub organisasi di bawah BPSDM. Permasalahannya dalam segi substansi aturan-aturan dalam organisasi dan tata kerja Departemen tidak satu pasal pun yang secara khusus mengatur dan menjelaskan keberadaan AKIP terutama tata hubungan kerjanya dengan BPSDM.
Direktur AKIP yang statusnya eselon III bertanggungjawab langsung kepada Kepala Badan yang statusnya eselon I. Penyelenggaraan pendidikan AKIP belum jelas apakah mengarah pada pendidikan profesional ataukah hanya untuk memenuhi kebutuhan dan peningkatan kualitas SDM. Lulusan AKIP belum diarahkan pada penjurusan dengan spesifikasi kekhususan yang dibutuhkan oleh semua sub sistem organisasi pemasyarakatan mulai dari Rutan, Bapas, Lapas dan Rupbasan
Status pembinaan karier Pegawai AKIP masih berdiri di dua unit kerja utama yakni di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dan di BPSDM
Rencana Aksi :
Pembentukan Tim kerja yang berafiliasi antara Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Sekjen Departemen Hukum dan HAM dan BPSDM dan tim dari AKIP untuk melakukan kajian dan penyusunan kertas kerja pembaruan penyelenggaraan pendidikan bagi taruna AKIP

2. Penyelenggaraan Rekruitmen Taruna AKIP
Permasalahan :
Rekrutmen AKIP dilakukan oleh Departemen melalui mekanisme penerimaan calon pegawai departemen hukum dan HAM dengan persyaratan penerimaan pegawai. Sistem rekrutmen tersebut dirasakan kurang efektif apabila AKIP ingin diarahkan menjadi sekolah Tinggi Ilmu Pemasyarakatan. Rekrutmen taruna AKIP yang langsung diangkat menjadi pegawai negeri ketika mengikuti pendidikan menyebabkan semangat untuk belajar dan kompetensi dalam mencapai prestasi terbaik dan berkualitas dikhawatirkan kurang tercapai.
Belum adanya pedoman penyelenggaraan pendidikan di AKIP yang disusun secara komprehensif berdasarkan visi untuk maju dan professional.
Rencana Aksi :
Pembentukan Tim kerja yang berafiliasi antara Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Sekjen Departemen Hukum dan HAM dan BPSDM dan tim dari AKIP untuk melakukan kajian dan penyusunan kertas kerja pembaruan penyelenggaraan pendidikan bagi taruna AKIP

E. TUNJANGAN PETUGAS PEMASYARAKATAN
Permasalahan :
Klasifikasi tunjangan yang diberikan pemerintah kepada petugas pemasyarakatan saat ini adalah “Tunjangan Yang Dipersamakan Dengan Tunjangan Jabatan”. Oleh karena itu nomenklatur dalam Peraturan Presiden nomor 21 tahun 2006 disebutkan sebagai “Tunjangan Petugas Pemasyarakatan” bukan “Tunjangan Jabatan Fungsional Petugas Pemasyarakatan”.
Rencana Aksi :
a. Membentuk pokja untuk melakukan studi tentang pembaharuan sistem renumerasi bagi Petugas Pemasyarakatan.
b. Fokus studi meliputi penghitungan besaran tunjangan Petugas Pemasyarakatan berdasarkan analisis kompetensi, beban kerja dan lain-lain.
c. Hasil studi disampaikan kepada Menteri dan menjadi bagian dari agenda reformasi birokrasi di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.


POLA PEMBIMBINGAN, PELAYANAN, PENGELOLAAN, PEMBINAAN, PENGAMANAN DAN SISTEM INFORMASI PEMASYARAKATAN

A. PEMBIMBINGAN MELALUI BAPAS
Permasalahan :
Kebijakan teknis Direktorat Jenderal Pemasyarakatan saat ini belum maksimal mendukung peran Bapas sebagai ujung tombak Pemasyarakatan. Hal ini terkait dengan kualitas dan kuantitas SDM, jumlah UPT Bapas yang masih terbatas, sarana alat transportasi dan perangkat komunikasi yang juga terbatas. Selain itu kurangnya anggaran dan belum adanya penetapan satuan biaya khusus masih menjadi kendala pelaksanaan teknis dilapangan. Kondisi eksternal juga mempengaruhi penerimaan hasil litmas, misalnya laporan yang disampaikan belum menjadi prioritas hakim dalam mengambil putusan.
Rencana Aksi :
Pembentukan kelompok kerja perubahan ketentuan internal, workshop, perumusan, penerbitan dan pelaksanaan.

B. PELAYANAN DI RUMAH TAHANAN
Permasalahan :
Terdapat tiga masalah mengenai pelaksanaan kebijakan teknis, pertama masalah kemampuan dan cara pandang petugas mengenai tahanan di mana dirasakan masih mengedepankan pendekatan yang represif. Kedua, kebijakan yang dibuat tidak dapat dilaksanakan karena sudah tidak kontekstual dan penjabarannya yang terlalu umum. Ketiga, masalah over kapasitas dan pelayanan kebutuhan tahanan yang belum terpenuhi.
Rencana Aksi :
Pembentukan kelompok kerja perubahan ketentuan internal, workshop, perumusan, penerbitan dan pelaksanaan.

C. PENGELOLAAN BASAN/BARAN DI RUPBASAN
Permasalahan :
Rupbasan sebagai satu-satunya institusi yang memiliki fungsi pengelolaan Barang sitaan dan barang rampasan negara, belum berjalan dengan optimal. Selain kekurangan sarana gedung, SDM dalam UPT Rupbasan masih memiliki banyak kekurangan. Misalnya keberadaan tenaga-tenaga ahli untuk merawat dan menaksir jenis-jenis barang.
Rencana Aksi :
Pembentukan kelompok kerja untuk melakukan sosialisasi tentang Rupbasan

D. PEMBINAAN DI LAPAS
Permasalahan ;
Permasalahan Lapas yang mengemuka adalah kurangnya pemahaman petugas tentang pembinaan yang berperspektif HAM, over kapasitas, percampuran narapidana dengan tahanan, pemenuhan hak dan kelemahan dalam mengembangkan kerjasama usaha.
Rencana Aksi :
Pembentukan kelompok kerja perubahan ketentuan internal, workshop, perumusan, penerbitan dan pelaksanaan.

E. SISTEM PENGAMANAN
Permasalahan:
Terdapat dua masalah besar dalam pengamanan, pertama penggunaan kekerasan yang tidak terkontrol dan kemampuan untuk mengembangkan sistem pengamanan yang efektif. Perlu diadakan latihan-latihan seperti pengendalian massa, dan penggunaan senjata secara berkelanjutan. Perlu juga dikembangkan peralatan seperti kebutuhan kamera, senjata, alat detektor, dan perbaikan sarana bangunan.
Rencana Aksi :
Pembentukan kelompok kerja perubahan ketentuan internal, workshop, perumusan, penerbitan dan pelaksanaan.

F. SISTEM INFORMASI PEMASYARAKATAN
Permasalahan:
Selama ini para petugas membuat sistem informasi dengan sangat manual dan komputerisasi yang tidak terpadu. Akibatnya pelaporan harus dibuat secara manual, sehingga tidak dapat diketahui secara cepat dan akurat mengenai jumlah tahanan, narapidana atau klien pemasyarakatan dan anak didik pemasyarakatan secara keseluruhan.
Rencana Aksi :
§ Interventarisasi kebutuhan pendataan di UPT-UPT, perumusan dan penerbitan.
§ Interventarisasi kebutuhan pendataan dalam bentuk sistem informasi yang terhubung antar UPT-UPT.
§ Program sistem informasi, penyediaan perangkat, pelatihan monitoring dan evaluasi.


PENGAWASAN DAN PARTISIPASI PUBLIK

PENGAWASAN MELEKAT
1. Regulasi
Permasalahan:
Banyak regulasi yang mengatur tentang pengawasan yang cenderung menimbulkan tafsir yang berbeda baik antara pegawai maupun antara pengawas itu sendiri.
Rencana Aksi :
a. Pihak ditjen membentuk tim kerja untuk menginventarisasi regulasi waskat yang ada pada tingkat Departemen.
b. Pembentukan tim untuk menyusun naskah akademik dan draft revisi regulasi di bidang pengawasan.

2. Jajaran UPT Pemasyarakatan
Permasalahan:
Tidak dapat dipungkiri bahwa pemahaman pegawai pada jajaran UPT pemasyarakatan terhadap regulasi pengawasan. Masih minim.
Rencana Aksi:
a. Disosialisasikannya secara optimal ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pengawasan.
b. Dilakukannya pelatihan dalam rangka Peningkatan kapasitas pegawai pemasyarakatan.

3. Unsur Pengawasan Melekat
Permasalahan:
Belum adanya protap pengawasan ditingkatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan
Rencana Aksi:
Direktorat jenderal membentuk tim untuk menyusun juklak dan juknis pengawasan melekat.

4. Intrumen Penilaian Kinerja
Permasalahan:
Mekanisme Daftar Penilaian pelaksanaan pekerjaan (DP3) sebagai salah satu instrumen penilaian kinerja petugas Pemasyarakatan belum mampu menjadi alat ukur yang obyektif karena indikator penilaiannya tidak relevan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi petugas Pemasyarakatan.
Rencana Aksi:
Terbentuknya kelompok kerja yang menyusun Peraturan Menteri (Permen) tentang pola pemantauan dan pengujian terhadap Instrumen Penilaian Kinerja.

5. Kode Etik
Permasalahan:
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan belum memiliki ketentuan mengenai kode etik petugas Pemasyarakatan
Rencana Aksi :
Pihak Ditjen Pemasyarakatan membentuk tim kerja untuk menyusun Kode Etik bagi Petugas Pemasyarakatan.

6. Mekanisme Penjatuhan Sanksi
Permasalahan:
a. Dalam praktik, pegawai pemasyarakatan yang dikenai sanksi tidak mengetahui tentang mekanisme pembelaannya.
b. Belum adanya unit bantuan hukum yang melakukan pembelaan bagi pegawai pemasyaraktan yang melakukan penyimpangan.
c. Keputusan penjatuhan sanksi hukuman disiplin dan administratif membutuhkan waktu yang relatif lamaoleh aparat pengawasan fungsional cenderung bersifat formalitas dan sarat kepentingan.
Rencana Aksi:
a. Sosialisasi mekanisme pembelaan bagi pegawai pemasyarakatan.
b. Mengadakan kajian yang lebih mendalam tentang urgensi unit bantuan hukum pada kantor wilayah, dan memberikan hasil kajian ini kepada Departemen

7. Unsur Pengawasan FUngsional
Permasalahan:
a. Banyaknya aparat pengawas fungsional membuat fugsi-fungsi pengawasan tidak efektif dan cenderung tumpah tindih.
b. Pada ranah implementatif, pengawasan oleh aparat pengawasan fungsional cenderung hanya bersifat formalitas dan sarat kepentingan.
Rencana Aksi:
Adanya penataan ulang pada semua lembaga pengawasan fungsional yang lebih memperhatikan pada kebutuhan dan kapasitas masing-masing lembaga.

8. Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan
Permasalahan:
a. Sesuai dengan peraturan menteri dan uu pemasyarakatan, Balai Pertimbangan Pemasyarakatan hanya memberikan pertimbangan kepada menteri. Dan tidak melakukan fungsi-fungsi pengawasan.
b. Sampai saat ini, Publik tidak mengetahui kinerja BPP.
c. Tim Pengamat Pemasyarakatan sesungguhnya memiliki fungsi pengawaasan tetapi tidak berjalan optimal.
Rencana Aksi:
Dilakukannya reposisi terhadap peran fungsi dan kewenangan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan TPP

PENGAWASAN LEGISLATIF

1. Anggota DPR
Permasalahan:
a. Pengawasan eksternal yang dilakukan oleh legislatif dirasakan belum berjalan sepenuhnya karena bentuk pengawasan legislatif hanya berupa rapat dengar pendapat dan kunjungan kerja, Sehingga bisa dikatakan legislatif belum mampu melakukan pengawasan secara efektif.
b. Fungsi pengawasan legislatif juga menjadi tidak maksimal terhadap adanya penyimpangan dari pemerintah karena hanya memberikan peringatan-peringatan atau saran-saran untuk melakukan perbaikan, dan tidak ada sanksi yang mengikat dari legislatif ketika peringatan dan saran tersebut tidak diindahkan oleh aparat pemerintah.
Rencana Aksi :
melakukan advokasi dengan tujuan agar fungsi pengawaasan DPR dapat lebih maksimal.

PENGAWASAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT

1. Kultur UPT Pemasyarakatan
Permasalahan:
UPT Pemasyarakatan terkesan masih tertutup terhadap partisipasi dari pihak eksternal terutama masyarakat
Rencana Aksi :
Ditjen pemasyarakatan membentuk tim kerja untuk malakukan sosalisasi pada tiap UPT pemasyarakatan tentang akan adanya kunjungan-kunjungan dari lembaga-lembaga eksternal.

2. Regulasi Pengawasan dan Partisipasi Publik
Permasalahan:
Walaupun sudah ada beberapa ketentuan yang mengatur tentang bagaimana pengawasan eksternal dalam hal ini partisipasi publik bisa dilakukan, namun sampai saat ini belum ada alur dan mekanisme yang tepat dalam melakukan peran-peran pengawasan sehingga masyarakat tidak dapat melakukan social participation secara efektif.
Rencana Aksi :
Pembentukan tim Assesment untuk menginisiasi terbentuknya Ombudsman Pemaayarakatan

3. Hakim Pengawas dan Pengamat
Permasalahan:
Peran seorang hakim pengawas dan pengamat yang cukup signifikan sebagaimana yang tercantum dalam KUHAP dan SEMA, memungkinkan seorang hakim melakukan pengawasan yang lebih spesifik pada pola perlakuan Lapas kepada seorang warga binaan pemasyarakatan. Namun realitas yang ada menunjukkan pelaksanaan pengawasan oleh hakim pengawas dan pengamat tidak berjalannya secara efektif.
Rencana Aksi:
Pembentukan tim kerja Departemen yang melakukan koordinasi dengan Mahkamah Agung dalam rangka berfungsinya hakim wasmat.

1 komentar:

suko zukowibowo mengatakan...

apa saja jenis senjata api(laras panjang, jenis genggam) yang digunakan saat ini oleh petugas jajaran pemasyarakatan khususnya di tiap-tiap LP??
dan sejauh mana wewenang penggunaanya???