1999-2002 TARUNA AKIP, 2002-2007, PEMBINA AKIP, 2007-2010, STAF HUMAS DITJENPAS, 2010-2011 KASUBSI KEAMANAN LAPAS SALEMBA, 2011-2013 KA.KPLP LAPAS BOALEMO, 2013-2014 KASI BINAPIGIATJA LAPAS BOALEMO, 2014-2015 KASI BINADIK LAPAS GORONTALO, 2015-SKR KALAPAS POHUWATO

Selasa, 18 September 2012

Pidana Penjara dalam pandangan ISLAM

1. Pidana Penjara
Sebelum membahas tentang pidana penjara dalam pandangan Islam, harus diketahui dulu apa yang dimaksud dengan pidana penjara. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, penjara berarti bangunan tempat mengurung orang hukuman. Pidana penjara adalah salah satu jenis pidana pokok yang terdapat dalam KUHP yang berlaku sekarang (Ius Constitutum) dan RUU KUHP mendatang (Ius Constituendum). Sehingga, sampai saat ini pidana penjara masih menjadi ‘primadona’ dalam hukum pidana Indonesia.

2. Pidana Penjara Dalam Perspektif Hukum Islam
 
A. Pandangan Hukum Islam Atas Pidana Penjara
Hukum Pidana Islam mempunyai berbagai jenis sanksi yang dapat dikenakan terhadap pelaku kejahatan sesuai dengan tingkat kejahatannya, diantaranya adalah ta’zir. Ta’zir sendiri secara bahasa berarti pencegahan, pertolongan, dan kemudian kata ini sering digunakan untuk menunjukkan arti pendidikan dan pengajaran. Menurut Prof. Dr. Wahbah Al-Zuhailiy, ta’zir secara syara’ berarti hukuman yang disyari’atkan atas perbuatan maksiat atau jinayah yang tidak ada had dan kafarat didalamnya. Baik itu jinayah terhadap hak Allah, seperti makan di siang hari bulan Ramadhan, ataupun jinayah terhadap hak hamba, seperti pencurian yang tidak mencapai satu nishab, pencurian yang barangnya tidak diambil dari al-hirz, dan tuduhan yang bukan tuduhan zina . Sedangkan menurut Dr. Musthafa al-Rafi’i, ta’zir adalah hukuman yang ukurannya tidak dijelaskan oleh nash syara’ dan untuk menentukannya diberikan pada waliy al-amri dan qadli .
Berdasarkan konsep pidana ta’zir diatas, maka jelaslah bahwa dalam hal nash-nash syara’ belum mengatur tentang suatu kejahatan atau pidana, seorang imam/hakim, bila memang perlu, punya kewenangan dan boleh untuk melakukan kriminalisasi dan penalisasi sendiri. Menurut jumhur ulama (selain Malikiyyah), disini qadli punya kewenangan bebas untuk menentukan jenis pidananya, tetapi tidak untuk kadar pidananya, karena ada batas maksimum untuk pidana ta’zir. Apalagi menurut Al-Qarrafiy, pidana ta’zir dapat saja berbeda-beda, sesuai dengan tempat dan waktu. Para fuqoha berpendapat bahwa jenis pidana ta’zir tidak terbatas. Adapun jenis pidana ta’zir yang disebutkan dalam kitab-kitab fiqih, maka hal itu hanyalah penyebutan beberapa contoh saja, dan sama sekali bukan penyebutan secara keseluruhan.
Bila kita mencermati beberapa pendapat ulama tersebut di atas, jelaslah bahwa sebenarnya Hukum Islam tidak pernah menutup kemungkinan diadakannya pidana penjara, sepanjang itu memang diperlukan. Apalagi dalam masa Rasulullah pernah dipraktekkan suatu jenis ta’zir yang esensinya sangat mirip dengan pidana penjara, yaitu ta’zir berupa pembuangan (al-nafyu, al-ib’ad) terhadap orang-orang yang menyerupai wanita. Karena itulah mungkin, maka Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata: “Orang laki-laki yang menyerupai perempuan (hukumannya adalah) dilenyapkan (diasingkan), karena ia tidak mendatangkan apa-apa kecuali kerusakan. Imam berhak untuk membuangnya ke daerah yang penduduknya dipandang aman darinya, atau jika imam takut akan itu, penjarakanlah dia”.
Esensi dari ta’zir pembuangan ini adalah untuk mengisolir pelaku kejahatan dari masyarakatnya agar ia tidak mempengaruhi yang lainnya, sebagaimana tampak dalam pernyataan Imam Ahmad diatas. Itu berarti bahwa esensi dari ta’zir tidak berbeda dengan esensi pidana penjara. Leonard Orland, dalam buku Prisons: Houses of Darkness, menyebutkan beberapa justifikasi teoritis diadakannya pidana penjara, yaitu: (a) The problem of recidivism (masalah residivis), (b) Retribution (pembalasan), (c) Deterrence (pencegahan), dan (d) Isolation (mengisolir terpidana dari masyarakat).
Menurut Dr. Jimly Asshidiqie, SH., pidana ta’zir pembuangan yang dipraktekkan pada zaman dahulu sekarang ini perlu dipertanyakan relevansinya. Di zaman sekarang, dimana perhubungan dan transportasi sudah tidak menjadi masalah berarti, pidana pembuangan bisa dikatakan tidak punya arti sama sekali. Karena itu, mengingat esensi dari pembuangan dan penjara adalah sama, yaitu isolasi dan pelajaran bagi pelaku kejahatan, pidana pembuangan/pengasingan yang sudah tidak efektif ini perlu diganti dengan pidana penjara. Pidana penjara adalah bentuk pengembangan lebih lanjut dari pidana ta’zir berupa pembuangan/pengasingan. Karena yang terpenting adalah, bagaimana agar pidana ta’zir yang dijatuhkan punya efektivitas.
Berdasarkan pemaparan diatas, jelas kiranya bahwa hukum Islam tidak pernah melarang diadakannya pidana penjara. Bahkan Rasulullah pernah membuat suatu pidana ta’zir yang bisa dianggap mengindikasikan legalitas pidana ini dalam Islam.
 
B. Pidana Penjara dalam Konsep Islam
 
Definisi Penjara (al-Habsu, al-Sijnu)
Dalam khazanah hukum Islam, pidana penjara biasa disebut dengan al-habsu atau al-sijnu, yang secara etimologi berarti mencegah dan menahan. Sedangkan secara terminologi berarti “menahan atau mencegah seseorang pelaku kejahatan dari pergaulan dengan masyarakat”.
 
Dasar-dasar Diadakannya Pidana Penjara Dalam Islam
Para ulama berbeda pendapat mengenai legalitas pidana penjara. Sebagian golongan Hanbali dan yang lainnya berpendapat bahwa pidana penjara tidak pernah disyari’atkan dalam Islam. Alasannya, di zaman Rasulullah dan Abu Bakar tidak ada lembaga penjara, dan keduanya juga tidak pernah memenjarakan seorang pun, tetapi mengasingkannya di suatu tempat. Padahal, mereka sudah tahu pidana penjara karena pidana ini sudah ada sebelum masa mereka.
Namun apa yang dilakukan Rasulullah ini tidaklah berarti bahwa pidana penjara tidak disayari’atkan dalam hukum Islam, karena saat itu memang belum membutuhkan adanya pidana penjara. Sampai kemudian tiba pada masa ‘Umar, dimana penduduk semakin banyak dan kian menyebar sehingga muncul kebutuhan diadakannya pidana penjara, pidana penjara pun mulai tampak. Berikut ini adalah dasar-dasar yang memperkuat pendapat yang mengatakan dianjurkannya pidana penjara dalam Islam.
 
1. Dasar dari al-Qur’an
Ayat al-Qur’an yang bisa dianggap menjadi dasar pidana penjara diantaranya adalah QS. Al-Nisa’: 5 yang artinya: “Maka kurunglah mereka dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain padanya”. Ayat ini menunjukkan perintah untuk menahan dan memenjarakan dalam rumah, sehingga dapat diartikan pula sebagai pensyari’atan diadakannya pidana penjara. Ayat kedua adalah QS. 5: 33, yang artinya: “Atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya)”. Imam Malik dan ulama Kufah mengatakan bahwa membuang berarti memenjarakan, sehingga dibuang dari keluasan dunia ke sempitnya dunia. Ketika dipenjara, maka seolah-olah ia telah dibuang dari luasnya dunia ke dalam sempitnya penjara yang menjadi tempatnya berada.
2. Dasar dari Sunnah
Imam Bukhari, Muslim, Tirmizi, Abu Dawud, dan Nasa’I meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah menahan seorang tertuduh, kemudian meninggalkan orang tersebut. Al-Hakim pernah meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah pernah menahan seorang tertuduh selama sehari semalam. Apa yang dilakukan Rasulullah ini menunjukkan disyari’atkannya pidana penjara.
3. Dasar Dari Ijmak Sahabat
Adapun dasar dari ijmak sahabat tampak ketika khalifah ‘Umar dan Utsman menerapkan pidana penjara. Dan tidak satupun sahabat yang mengingkarinya ataupun protes.
4. Dasar dari Praktek Sejarah dan Pendapat Ulama
Dalam beberapa buku, kita bisa mendapati bahwa pidana penjara pernah dipraktekkan dalam beberapa Daulah Islamiyyah. Syed Hussein Alatas misalnya, ketika menjelaskan contoh sikap konsistennya Imam Ahmad, mengatakan: “He was beaten and imprisoned by the Caliph for refusing to agree on some theological points (Imam Ahmad pernah dipukul dan dipenjara oleh Khalifah al-Mu’tashim karena menolak untuk menyetujui beberapa pemikiran teologis)”.
Itu adalah contoh dari penerapan pidana penjara di negara Islam pada zaman dahulu. Sedangkan contoh dari penerapan pidana penjara di negara Islam saat ini adalah Pasal 1 UU Pemberantasan Suap Saudi Arabia yang menyatakan:
(Setiap pejabat publik yang meminta untuk dirinya sendiri atau orang lain, atau menerima atau mengambil sesuatu janji atau pemberian untuk melakukan tindakan tertentu yang termasuk dalam pekerjaan jabatannya, atau patut diduga termasuk dalam pekerjaan jabatannya, meskipun pekerjaan tersebut diperintahkan, dianggap sebagai penerima suap dan dipidana dengan pidana penjara satu sampai lima tahun dan pidana denda sebanyak lima ribu sampai seratus ribu riyal, atau salah satu dari keduanya)
Selain itu, banyak ulama yang dalam buku-bukunya menyebutkan secara eksplisit pidana penjara. Contohnya Imam Ibnu Taimiyyah, beliau menuliskan:
Apabila hanya mengancam dengan senjata, namun tidak sampai membunuh dan mengambil harta, kemudian memasukkan senjata kembali, maka hukumannya adalah diasingkan dari tempat kediamannya. Ada yang mengatakan pengasingannya adalah dengan cara mengarantinanya ke tempat tertentu, maka mereka tidak ditinggal begitu saja untuk meminta-minta di negara lain. Pendapat lain mengatakan, pengasingannya dengan cara dipenjara.
Contoh dari ulama kontemporer adalah Dr. Muhammad Al-Zuhaily. Dekan dan Guru Besar Hukum Islam dari Fakultas Syari’ah Damascus University yang juga murid Prof. Dr. Wahbah Al-Zuhaily ini, dalam buku Al-Nadzariyyat al-Fiqhiyyah (Teori-teori Fiqih) menuliskan: ”Pidana ta’zir banyak dan bermacam-macam. Ada yang menimpa badan, seperti pidana mati dan jilid…………….Ada yang menimpa badan dan jiwa, seperti penjara dan pengasingan (al-habsu wa al-nafyu), …….”.
Apabila kita mencermati peta perbedaan pemikiran di kalangan ulama seputar legalitas pidana penjara dalam hukum Islam, maka yang lebih kuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa pidana penjara diperbolehkan dan disyari’atkan dalam hukum Islam. Dasar dari mereka yang menolak hanya satu, yaitu Rasulullah dan Abu Bakar tidak pernah mempraktekkannya. Sedangkan dasar mereka yang berpendapat bahwa pidana penjara disyari’atkan dalam hukum Islam sangat banyak dan kuat. Karena itu, dapatlah kita simpulkan kiranya bahwa pidana penjara dipebolehkan dan disyari’atkan dalam hukum Islam sebagai salah satu jenis pidana ta’zir.
 
C. Aturan Penerapan Pidana Penjara Menurut Islam

Meski pidana penjara dimungkinkan dalam hukum Islam, dalam penerapannya tetap ada batasan dan aturan. Pidana ini termasuk pidana ta’zir, sehingga untuk aturan penerapan dan pelaksananya harus mengikuti kaidah-kaidah umum penjatuhan pidana ta’zir. Diantara azas-azas umum pidana ta’zir yang paling penting adalah:
1. Berbeda dengan pidana hudud, qishash, dan diyat yang ukurannya sudah ditentukan, pidana ta’zir adalah pidana yang tidak ada ketentuan kadarnya. Karena itu, imam/hakim dalam penjatuhan pidana penjara haruslah menentukan kadar yang pantas dan adil bagi semua pihak: masyarakat, pelaku, dan korban.
2. Dalam ta’zir harus diperhatikan kondisi pelaku dan jenis perbuatannya. Ini berbeda dengan pidana hudud, qishash, diyat, dan kafarat yang hanya melihat jenis kejahatan saja; sepanjang unsur delik telah terpenuhi, pidana harus dijatuhkan tanpa melihat kondisi pelaku. Karena itu, dalam menjatuhkan hukuman pidana penjara (yang sudah jelas merupakan bagian dari ta’zir), kondisi pelaku harus dipertimbangkan juga. Kadar pidana penjara untuk orang yang bandel dan sehat harus berbeda dengan kadar untuk mereka yang penurut dan lemah fisiknya.
3. Tujuan utama pidana ta’zir adalah untuk pembalasan, pelajaran, dan pencegahan. Karena itulah, pidana penjara, mengingat termasuk pidana ta’zir yang diantara tujuannya adalah untuk pembalasan, bagaimanapun juga, harus mengandung unsur nestapa bagi pelaku dan jangan terlalu ‘memanjakannya’, tapi juga jangan terlalu menyengsarakannya secara berlebihan. Inilah yang mungkin sering dilupakan dalam konsep pidana penjara barat, dimana seringkali pidana penjaranya terlalu mengedepankan unsur pendidikan an sich, sampai kemudian penjara dianggap sebagai ‘lembaga pemasyarakatan’ dan ‘sekolahan para napi’ semata, yang didalamnya sangat minim penderitaan. Pola penjara seperti di barat ini sangat memperhatikan -- bahkan memanjakan -- posisi pelaku (offender), dan sangat mengabaikan posisi korban (victim).
4. Harus diperhatikan efektifitas dari penjatuhan pidananya. Apabila pidana penjara diperkirakan justru akan menjadi madlarat, seperti menjadi ajang berbagi ilmu kejahatan antara para napi misalnya, maka pidana ini harus dihindari dan diganti dengan jenis ta’zir lainnya.


KESIMPULAN
Para ulama berbeda pendapat mengenai status pidana penjara dalam hukum Islam. Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa pidana penjara sama sekali tidak diajarkan dalam Islam. Alasannya adalah karena pada zaman Rasulullah dan Abu Bakar tidak pernah ada penjara, padahal mereka tahu jenis pidana ini. Namun mayoritas ulama mengatakan bahwa pidana ini disyari’atkan dalam hukum Islam berdasarkan dalil Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ sahabat.
Apabila kedua pendapat tersebut dibandingkan, yang lebih kuat dan lebih patut dijadikan pegangan adalah pendapat yang mengatakan bahwa pidana ini dianjurkan dalam hukum Islam. Apalagi, di zaman sekarang ini pidana penjara seolah menjadi kebutuhan mutlak. Bisa dikatakan, sekarang ini tidak ada negara yang tidak punya lembaga bernama penjara.
Karena itu, pidana penjara sebaiknya tetap dipertahankan eksistensinya. Hanya saja, dalam penerapannya harus diperhatikan aturan dan batasannya. Diantara yang harus selalu diingat adalah bahwa pidana ini intinya merupakan pembalasan, pelajaran, dan pencegahan. Selain itu, karena pidana penjara termasuk dalam jenis ta’zir yang menimpa badan dan jiwa, pidana ini juga harus selalu memperhatikan kondisi jasmani dan rohani terpidana.
 
(dikutip dari : http://lubabulmubahitsin.blogspot.com)

Pengamanan dan Pembinaan

Kalau kita sepakat antara Keamanan dan Pembinaan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain ... ibarat koin, satu sisinya adalah keamanan sisi lainnya adalah Pembinaan dua-duanya saling terkait dan saling mendukung, jika uang koin hanya ada satu sisi maka tidak lakulah uang itu ...

Tidak ada yang lebih penting dan lebih utama antara satu dengan lainnya, tapi dua-duanya sama-sama penting karena dua-duanya berada dalam satu sistem yang dijalankan oleh UPT Pemasyarakatan yaitu sistem pemasyarakatan, salah satunya tidak berfungsi maka pincanglah sistem pemasyarakatan itu ....

Yang menjadi pertanyaanya adalah ....
Apakah dua-duanya telah berjalan seiring dan saling mendukung ? untuk menjawab pertanyaan itu ngga perlu pake penilitian kan ... atau anggap saja selama kita dinas adalah masa kita melakukan penelitian karena kita-kita ini sebagai orang yang berada dalam sistem, bukan pengamat ataupun komentator ....

Sepakat atau tidak saya katakan, sebagian kecil mungkin SUDAH tapi sebagian besar BELUM, dan inilah yang menjadi salah satu penyakit kronis disamping over kapasitas yang tidak pernah terselesaikan permasalahannya sampai dengan saat ini ....

ada banyak faktor atau kemungkinan yang menyebabkan dua-duanya tidak dapat berjalan seiring dan tidak dapat saling mendukung diantaranya adalah...
Ego sektoral, bagian keamanan menganggap dirinya lebih penting begitupun bagian pembinaan menganggap dirinya lebih penting sehingga muncullah tindakan-tindakan yang saling mencari kelemahan, kesalahan untuk saling menjatuhkan bahkan saling menghalang-halangi satu sama lain, tanpa menyadari bahwa apabila salah satunya gagal maka gagallah dua-duanya

Banyak program pembinaan yang gagal dilaksanakan karena tidak didukung oleh bagian keamanan begitupun sebaliknya berapa banyak terjadi kerusuhan karena kegagalan bagian pembinaan dalam mengelola hak-hak Warga Binaan... sehingga sehebat apapun bagian pengamanan tidak akan berguna bila bagian pembinaan tidak berfungsi, sebaliknya sehebat apapun bagian pembinaan tidak akan berguna bila tidak didukung oleh bagian keamanan

faktor lainnya adalah faktor SDM, sebagian besar kita termasuk saya mungkin hanya mampu mendapatkan jabatan tapi tidak mampu menjalankan jabatan tersebut dengan sebaik-baiknya dan masih banyak lagi faktor-faktor lain yang tidak perlu kita sebutkan semua ...

Disinalah kita lihat peran dan kelihaian Kepala (ka.UPT) untuk memainkan kedua fungsi tersebut, kenyataannya memang banyak yang lebih fokus pada pengamanan, salah satu sebabnya adalah begitu banyak Kalapas dan KPLP yang dicopot dari jabatannya karena masalah keamanan, tapi tidak ada resiko apabila program pembinaan tidak berjalan .... seharusnya Kasi pembinaanpun dicopot bila program pembinaan tidak berjalan, jadi tidak bisa disalahkan juga bila banyak UPT yang mencari I S atau Ilmu Selamat, dan akhirnya pembinaan hanya bekerja seputaran registrasi, PB, CB, CMB, Asimilasi dan remisi

Selain Ka. UPT pimpinan di tingkat kanwil dan pusat juga harus segera menetapkan tolak ukur keberhasilan UPT baik dari faktor Pengamanan maupun Faktor Pembinaan, dan betul-betul menjadi keharusan dan penilaian, hal ini mungkin sudah pernah ada seperti : tidak terjadinya pelarian dan kerusuhan dan banyaknya WBP yang bebas sebelum waktunya karena proses pembinaan, tapi yang tersisa kini tinggal tolak ukur tidak terjadi pelarian dan kerusuhan sedangkan tolak ukur pembinaan menjadi abu-abu dan tidak lagi menjadi keharusan, sehingga tidak bisa dipungkiri, kita hanya mampu mengukur keberhasilan pengamanan tanpa mampu mengukur keberhasilan pembinaan kemudian mudah untuk menjatuhkan phunist and reward untuk bagian keamanan tapi sulit untuk memberikan phunist and reward untuk bagian pembinaan ...

Mungkin analisa saya banyak yang salah, mohon dimaafkan !!! tapi ini lah kenyataannya, dimana-mana KPLP / KPR adalah tangan kanan yang lainnya adalah tangan buntung .... bukan sebagai bentuk kekecewaan tapi hanyalah sebagai bentuk keprihatinan karena saya sendiri adalah Ka.KPLP yang diuntungkan dengan kondisi tersebut, tapi sistem yang akan menjadi korban .....

Salam Pemasyarakatan !!!!

Minggu, 16 September 2012

BEKERJA adalah SENI

SENI bagaimana kita menerapkan ATURAN, yaitu peraturan dapat dilaksanakan tanpa memberikan beban terhadap orang yang harus mamatuhinya, peraturan dilaksanakan, dipatuhi atas KESADARAN DIRI SENDIRI bukan karena takut akan hukumannya atau siksaannya, bukan karena ancamannya, bukan karena takut dengan KOMANDAN.....

Jika peraturan dipatuhi atas kesadaran diri sendiri dan orang semakin paham dengan peraturan maka peraturan tersebut tidak perlu lagi dimunculkan kepermukaan menjadi senjata KOMANDAN untuk mengancam, menakut-nakuti dan membuat suasana penuh dengan tekanan..... istilahnya kalau peraturan itu diumpamakan sebuah Handphone maka di SILENT ajalah .... tidak terdengar tapi Handphone itu berfungsi ...

Memang kalau penegakan peraturan itu kita dengung-dengungkan, kita tulis besar-disetiap sudut hingga hampir tidak ada tempat yang tidak tertulis peraturan dan ancaman, tidak ada kompromi terhadap pelanggaran peraturan siapapun dia ditambah lagi dengan sedikit kekerasan yang berkedok pembinaan... maka kita akan memperoleh pujian sebagai orang idealis, disiplin, tegas dan ditakuti banyak orang tapi pernahkah kita sadari bahwa hasil dari semua itu hanyalah rasa takut dan kebencian yang luar biasa terhadap seorang figur tersebut, sehingga disaat figur tersebut tidak kelihatan maka terjadilah pelaggaran peraturan dimana-mana dan dimata saya hal seperti ini merupan suatu kegagalan ...

Celakanya lagi semua itu hanya menjadi kamuflase dan kemunafikan karena didasari oleh pencitraan diri bukan karena niat yang tulus... KOMANDAN yang bekerja untuk pencitraan diri maka kerjanya tiap hari hanyalah mencari-cari pelanggaran, mencari-cari celah untuk menghukum orang, hal-hal kecil yang sebenarnya bisa diselesaikan tanpa harus membesar-besarkan masalah dan tanpa harus berkoar kemana-mana seakan akan ingin mengatakan pada dunia saya adalah orang hebat, saya adalah penguasa dan kalian semua harus tunduk...

Lalu kalau tidak demikian, muncul sebuah pertanyaan, apakah kita tidak boleh menjadi orang idealis, disiplin dan tegas ? berarti boleh ada kompromi, berarti apa yang kita kerjakan semuanya dianggap kamuflase dan kemunafikan ? ....
Tentu bukan seperti itu juga maksudnya ... tapi yang dimaksud disini adalah tujuan dari semuanya itu adalah bagaimana kita melakukan upaya pembinaan agar orang-orang tidak melanggar peraturan atau BANGUNLAH SEBUAH SISTEM YANG TIDAK MEMUNGKINKAN ORANG MELANGGAR PERATURAN. Menangkapi, memeriksa, menghukum orang yang melanggar peraturan bukan menjadi tujuan kita, tapi yang menjadi tujuan utama kita adalah upaya PENCEGAHAN dalam menegakkan peraturan .... dan ini adalah SENI bagaimana kita bisa menjadi orang idealis, disiplin, tegas tidak ada kompromi tanpa harus memakan korban

Menegakkan peraturan tanpa SENI ibarat sayur tanpa garam, hambar dan tidak enak rasanya .... ibarat peraturan itu adalah sayur dan seni adalah garamnya, orang makan sayur banyak manfaatnya untuk kesehatan tapi bagaimana caranya orang mau makan sayur kalau sayurnya itu tidak enak rasanya, oleh karena itu buatlah sayur itu enak supaya orang mau makan sayur, bagaimana membuat sayur itu enak ? maka berilah garam sesuai dengan takarannya .... kebanyakan garam juga bisa jadi tidak enak tooohh.... nah disitulah letak SENI nya ....

Bekerja itu adalah SENI ....
SENI itu indah ...
Maka Tegakkanlah Peraturan itu dengan INDAH ....