1999-2002 TARUNA AKIP, 2002-2007, PEMBINA AKIP, 2007-2010, STAF HUMAS DITJENPAS, 2010-2011 KASUBSI KEAMANAN LAPAS SALEMBA, 2011-2013 KA.KPLP LAPAS BOALEMO, 2013-2014 KASI BINAPIGIATJA LAPAS BOALEMO, 2014-2015 KASI BINADIK LAPAS GORONTALO, 2015-SKR KALAPAS POHUWATO

Sabtu, 01 Agustus 2009

Eksistensi Latihan Keterampilan Di Lembaga Pemasyarakatan

Kebijakan yang diemban Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menyangkut jenis pekerjaan di Lapas/Rutan kedepan diarahkan kepada pekerjaan industri (Industrial Training)yang bersifat produktif dan latihan ketrampilan (Vocational Training) Pekerjaan industri yang murni merupakan pekerjaan produktif sehingga menghasilkan barang dan jasa, seperti:
- konveksi, percetakan/sablon, meubelair, tenun, pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan.
- Pekerjaan industri yang merupakan bagian dari latihan ketrampilan yang lebih menekankan pada kegiatan latihan ketrampilan sebelum narapidana bekerja produktif. latihan ketrampilan, yaitu kegiatan memberikan ketrampilan keahlian bagi narapidana tanpa diberikan beban untuk menghasilkan barang dan jasa.
- Pekerjaan yang dilakukan berdasarkan hobby.

Hal ini sejalan dengan 10 (sepuluh) PRINSIP PEMASYARAKATAN diantaranya dinyatakan bahwa : “(1) Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan peranannya sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna, (6) Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak boleh bersifat sekedar mengisi waktu, juga tidak boleh diberikan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan dinas atau kepentingan negara sewaktu-waktu saja.

Pekerjaan yang diberikan harus satu dengan pekerjaan dimasyarakat dan yang menunjang usaha peningkatan produksi " hal ini juga dipertegas lagi dengan Perintah Harian Direktur Jenderal Pemasyarakatan melalui surat edarannya Nomor : E.KP.10.10-03 tanggal 18 Juli 2007 yang memerintahkan untuk “menciptakan Lembaga Pemasyarakatan yang bersih, indah dan sehat sebagai Lembaga pendidikan dan lembaga produksi.

Dalam upaya meningkatkan pruduktifitas Balai Latihan Kerja suatu hal yang dilaksanakan di Lapas Narkotika Jakarta sangat patut dijadikan contoh sebagai upaya mengimplementasikan amanah 10 prinsip pemasyarakatan dan arah kebijakan direktorat jenderal pemasyarakatan untuk menjadikan Lapas / Rutan sebagai lembaga pendidikan dan lembaga produksi.

Lapas Sustik jakarta mengarahkan bengkel kerja narapidana sebagai wadah pelatihan narapidana untuk mencetak tenaga kerja yang terampil dan bersertifikasi tentunya hal ini tidak dapat dilakukan sendiri tapi diperlukan dukungan dari instasi lain yang terkait, dalam hal ini Lapas Sustik Jakarta menjalin kerjasama dengan PEMDA KOTA JAKARTA TIMUR yaitu Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jakarta Timur, yang memberikan bantuan dalam bentuk Tenaga Instruktur dan Modul/materi pelatihan serta Sertifikasi yang sesuai dengan standard ketenagakerjaan, hingga pada akhirnya mampu meningkatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan peningkatan kesejahteraan.

Pada dasarnya bila kita cermati lebih lanjut dalam sistem pemasyarakatan terdapat tiga unsur yang menetukan berhasilnya proram pembinaan narapidana yaitu : Petugas, Narapidana itu sendiri dan Masyarakat, menjalin kerjasama dengan instansi lain baik instasi pemerintah maupun swasta merupakan wujud dari peran masyarakat dalam pembinaan narapidana di dalam Lapas / Rutan, apabila salah satu dari tiga unsur tersebut tidak mendukung dalam program pembinaan narapidana pada satu Lapas atau Rutan maka dapat disimpulkan bahwa pembinaan di Lapas atau rutan tersebut menemui jalan buntu, sehinga disinilah kita melihat dan mengukur kemampuan dari pejabat struktural hingga kepala Lapas/Rutan bersangkutan untuk melakukan koordinasi dengan pihak2 terkait dan melibatkan masyarakat dalam proses pembinaan narapidana.

Dalam hal ini penulis ingin menegaskan lagi bahwa janganlah faktor keamanan selalu menjadi tolak ukur keberhasilan suatu Lapas/Rutan namun yang lebih penting lagi adalah faktor pembinaan yakni : pembinaan kepribadian maupun pembinaan kemandirian, hal ini bukannya tanpa alasan, simple saja bahwa apabila yang menjadi tolak ukur adalah keamanan kenapa tidak kembali saja ke sistem penjara jaman dulu, yang hanya ditentukan oleh faktor keamanan saja, tidak berlebihan bila penulis mengatakan bahwa banyak kepala lapas/rutan yang menggunakan ilmu selamat (IS), yang mengedepankan keamanan daripada pembinaan, karena apabila terjadi pelarian takut jabatannya dicopot.

Sistem pemasyarakatan adalah sistem perlakuan terhadap narapidana yang mengedepankan pembinaan, tujuan presiden RI Pertama Soekarno dan pencetus sistem pemasyarakata DR. Sahardjo, mengganti sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan agar narapidana diberikan pembinaan, diberikan keterampilan agar dapat kembali ke tengah masyarakat menjadi warga masyarakat yang berguna dan turut serta dalam pembangunan.

Diawal kelahiran sistem pemasyarakatan pada tahun 1964 roh pemasyarakatan itu masih sangat jelas walaupun cara2 kepenjaraan masih mempengaruhi namun sangat jelas kita melihat lembaga pemasyarakatan sebagai lembaga pendidikan dan lembaga produksi dimana kita melihat eksistensi dari Bengkel kerja narapidana sangat jelas, namanya pun bukan bengkel kerja tapi perusahaan,di dalam Lapas kita kenal perusahaan besar, perusahaaan sedang dan perusahaan kecil.

Contohnya seperti pencelupan kain di Cirebon,percetakan di sukamiskin, pabrik sepatu di jogja, dll. namun sangat disayangkan keberhasilan tersebut tidak dapat dipertahankan sampai sekarang, dan semuanya kini tinggal kenangan, bahkan disadari atau tidak di usia pemasyarakatan yang semakin tua kita semakin jauh dari roh pemasyarakatan dan semakin dekat dengan roh kepenjaraan, kita dapat melihat bangunan2 penjara yang semakin kokoh dengan tembok yang semakin tinggi, bahkan muncul penjara super maksimum security, dan tidak ada keberhasilan dalam pembinaan kepribadian dan kemandirian narapidana yang dapat dibanggakan.

Dari hasil pengamatan penulis dapat disimpulkan kondisi kegiatan kerja lapas/rutan saat ini adalah:
- Pengelolaan bengkel kerja hanya bersifat pengisi waktu luang.
- Kemampuan SDM bengkel kerja baik secara managerial skill dan technical skill kurang mendukung bagi pengembangan bengkel kerja.
- Sarana dan prasarana bengkel kerja kurang memadai.
- Masih rendahnya jumlah Lapas/Rutan yang melaksanakan kerjasama dengan pihak ketiga.

Penulis sengaja mengambil contoh pembinaan keterampilan kerja di Lapas Sustik Jakarta karena penulis menilai bahwa inilah suatu kegiatan yang ideal yang harus diterapkan dan di ikuti oleh Lapas/rutan yang lain, karena disamping faktor keamanan yang di jaga disertai pula dengan pembinaan narapidana yang ideal.

Apel Bersama di Lapas Sustik Jakarta

Dipimpin langsung oleh Kalapas (ibnu chuldun), 15 juli 2009 lapas sustik jakarta melaksanakan kegiatan apel bersama, dengan mengusung tema : "menyatukan visi dan misi petugas pemasyarakatan lapas narkotika jakarta sebagai wujud profesionalisme dalam mensukseskan budaya tertib pemasyarakatan"

kegiatan ini telah rutin dilaksanakan untuk menumbuhkan jiwa korsa dan kebersamaan serta mempererat tali silaturahmi diantara petugas dimana pada kegiatan sehari2 sibuk dengan kegiatannya masing2.

melalui kegiatan inilah mereka bermain dalam kegiatan dinamika kelompok, berolahraga bersama pada kegiatan kesamaptaan, apel, makan dan menikmati hiburan secara bersama-sama. selain kegiatan apel bersama, kagiatan ini juga dirangkai dengan kegiatan purna tugas bpk kemis, yang telah menjalani masa pensiun,

Pemasyarakatan di akhir 2008


Proses reintegrasi sosial yang menjadi prinsip dalam system Pemasyarakatan, lebih mengedapankan upaya pembinaan narapidana dengan cara persuasive, hal ini mungkin hanya ada di Indonesia, betapa tidak? Karena menurut penelitian Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, jumlah rasio petugas pengamanan dengan jumlah napi adalah 1 petugas berbanding 45 narapidana, idealnya 1 petugas berbanding 25 narapidana, itu adalah angka perbandingan secara nasional, namun pada beberapa daerah kota besar seperti Jakarta,

mungkin angkanya akan lebih fantastis, artinya rasio pembagi atau jumlah napi akan lebih besar ketimbang jumlah petugas pengamanannya.
Fakta yang ada, terlepas dari adanya kasus penyimpangan didalam Lapas dan Rutan, hampir dapat dikatakan, gejolak ganguan kamtib yang bersifat masal, jarang terjadi.

Hal inilah yang mungkin menjadi daya tarik dari beberapa negara berkembang bahkan hingga Negara maju, berbondong-bondong datang ke Indonesia, untuk melihat dari dekat, bagaimana system pengamanan berjalan di Lapas dan Rutan. Selama bulan Desember 2008, dua Negara, prancis dan kamboja mengadakan kunjungan study banding ke beberapa Lapas dan Rutan di sekitar Jakarta dan Bandung, khusus untuk melihat dari dekat bagaimana tingkat overkapasitas, dengan segala keterbatasan rekan-rekan kita petugas pengamanan Lapas dan Rutan , dapat menjalani hari-harinya dengan aman.

Mungkin hal tersebut merupakan barang yang langka ditempat mereka, sehingga mereka harus jauh-jauh ke Indonesia, mempelajari bagaimana kita mengelola Lapas dan Rutan dengan kondisi yang overkapasitas.
Demikian juga dengan kunjungan anggota Balai Pertimbangan Pemasyarakatan, yang mengunjungi UPT Pemasyarakatan di Jawa Timur pada akhir 2008, yang memberikan wacana perubahan nomen klatur Lapas Anak menjadi Lembaga Pengembangan kreatifitas Anak, tentunya dengan filosofi pembinaan terhadap anak, yang terlahir dari kejahatan, namun anak yang terlahir dengan kreatifitas.


Lain masalah anak dengan pembinaan di Lapas Anak, lain pula masalah orang tua, melalui Undang-Undang KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) para suami/ayah dapat terancam pidana, dan hal ini ditenggarai ada hubungannya dengan kondisi kejiwaan pelakunya, hingga perlu upaya rehabilitasi, melalui metode konsulensi dengan mengedepankan Balai Pemasyarakatan, sebagai konselor bagi para pelaku KDRT, melalui pelatihan dan peluncuran modul pelatihan, diharapkan Balai Pemasyarakatan dapat menjalankan tugasnya sebagai konselor bagi para pelaku KDRT


Demikianlah Pemasyarakatan dengan segala Dinamika yang ada, nampaknya tidak akan pernah berakhir seperti halnya overkapasitas sebagai masalah klasik dengan segala eksesnya , sebagaimana Didin Sudirman dalam buku ”Pemasyarakatan Menjawab Tantangan Zaman” menjelaskan proses akomodasi kepentingan antara Penghuni dan Petugas, terjadi karena kebutuhan yang tidak terdapat di dalam penjara, dan terhambat oleh peraturan, namun karena bersifat manusiawi maka akan terus mendesak.

Oleh karena itu tepatlah kiranya program Optimalisasi pemberian Hak Warga Binaan sebagai “Kran” lain untuk mengatasi ekses negatifnya sebagaimana yang dinikmati oleh 7.024 saudara kita warga binaan yang beragama nasrani, menikmati remisi natalnya pada bulan Desember Tahun ini. Oleh sebab itulah Sistem Pemasyarakatan dalam tatanan idealnya menginginkan adanya integrasi dengan masyarakat, agar pengaruh kekuatan menyimpang dapat dieliminir, justeru bukan dengan pendekatan keamanan semata…. Amin.