1999-2002 TARUNA AKIP, 2002-2007, PEMBINA AKIP, 2007-2010, STAF HUMAS DITJENPAS, 2010-2011 KASUBSI KEAMANAN LAPAS SALEMBA, 2011-2013 KA.KPLP LAPAS BOALEMO, 2013-2014 KASI BINAPIGIATJA LAPAS BOALEMO, 2014-2015 KASI BINADIK LAPAS GORONTALO, 2015-SKR KALAPAS POHUWATO

Sabtu, 01 Agustus 2009

Pemasyarakatan di akhir 2008


Proses reintegrasi sosial yang menjadi prinsip dalam system Pemasyarakatan, lebih mengedapankan upaya pembinaan narapidana dengan cara persuasive, hal ini mungkin hanya ada di Indonesia, betapa tidak? Karena menurut penelitian Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, jumlah rasio petugas pengamanan dengan jumlah napi adalah 1 petugas berbanding 45 narapidana, idealnya 1 petugas berbanding 25 narapidana, itu adalah angka perbandingan secara nasional, namun pada beberapa daerah kota besar seperti Jakarta,

mungkin angkanya akan lebih fantastis, artinya rasio pembagi atau jumlah napi akan lebih besar ketimbang jumlah petugas pengamanannya.
Fakta yang ada, terlepas dari adanya kasus penyimpangan didalam Lapas dan Rutan, hampir dapat dikatakan, gejolak ganguan kamtib yang bersifat masal, jarang terjadi.

Hal inilah yang mungkin menjadi daya tarik dari beberapa negara berkembang bahkan hingga Negara maju, berbondong-bondong datang ke Indonesia, untuk melihat dari dekat, bagaimana system pengamanan berjalan di Lapas dan Rutan. Selama bulan Desember 2008, dua Negara, prancis dan kamboja mengadakan kunjungan study banding ke beberapa Lapas dan Rutan di sekitar Jakarta dan Bandung, khusus untuk melihat dari dekat bagaimana tingkat overkapasitas, dengan segala keterbatasan rekan-rekan kita petugas pengamanan Lapas dan Rutan , dapat menjalani hari-harinya dengan aman.

Mungkin hal tersebut merupakan barang yang langka ditempat mereka, sehingga mereka harus jauh-jauh ke Indonesia, mempelajari bagaimana kita mengelola Lapas dan Rutan dengan kondisi yang overkapasitas.
Demikian juga dengan kunjungan anggota Balai Pertimbangan Pemasyarakatan, yang mengunjungi UPT Pemasyarakatan di Jawa Timur pada akhir 2008, yang memberikan wacana perubahan nomen klatur Lapas Anak menjadi Lembaga Pengembangan kreatifitas Anak, tentunya dengan filosofi pembinaan terhadap anak, yang terlahir dari kejahatan, namun anak yang terlahir dengan kreatifitas.


Lain masalah anak dengan pembinaan di Lapas Anak, lain pula masalah orang tua, melalui Undang-Undang KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) para suami/ayah dapat terancam pidana, dan hal ini ditenggarai ada hubungannya dengan kondisi kejiwaan pelakunya, hingga perlu upaya rehabilitasi, melalui metode konsulensi dengan mengedepankan Balai Pemasyarakatan, sebagai konselor bagi para pelaku KDRT, melalui pelatihan dan peluncuran modul pelatihan, diharapkan Balai Pemasyarakatan dapat menjalankan tugasnya sebagai konselor bagi para pelaku KDRT


Demikianlah Pemasyarakatan dengan segala Dinamika yang ada, nampaknya tidak akan pernah berakhir seperti halnya overkapasitas sebagai masalah klasik dengan segala eksesnya , sebagaimana Didin Sudirman dalam buku ”Pemasyarakatan Menjawab Tantangan Zaman” menjelaskan proses akomodasi kepentingan antara Penghuni dan Petugas, terjadi karena kebutuhan yang tidak terdapat di dalam penjara, dan terhambat oleh peraturan, namun karena bersifat manusiawi maka akan terus mendesak.

Oleh karena itu tepatlah kiranya program Optimalisasi pemberian Hak Warga Binaan sebagai “Kran” lain untuk mengatasi ekses negatifnya sebagaimana yang dinikmati oleh 7.024 saudara kita warga binaan yang beragama nasrani, menikmati remisi natalnya pada bulan Desember Tahun ini. Oleh sebab itulah Sistem Pemasyarakatan dalam tatanan idealnya menginginkan adanya integrasi dengan masyarakat, agar pengaruh kekuatan menyimpang dapat dieliminir, justeru bukan dengan pendekatan keamanan semata…. Amin.

Tidak ada komentar: